Yang pertama datang di kedai minuman itu adalah seorang lelaki paruh baya dengan kantung mata dan raut wajah yang membuatnya tampak seperti pemurung. Ia datang dengan kemeja hitamnya yang dipadu-padankan dengan celana panjang, sepatu, dan jam tangan yang juga hitam. Kumisnya lebat dengan beberapa rambut yang masuk ke lubang hidungnya sementara rambut di kepalanya mulai menipis. Dia adalah seorang dosen. Di tengah malam ini ia tak begitu pandai menyembunyikan kesendiriannya. Ia duduk dengan postur bungkuk menghadap ke arah bar. Dan dengan ketenangan yang dibuat-buat sambil menggulung lengan panjang kemejanya ia berkata pada seorang pelayan wanita di depannya, “Berikan aku segelas minuman. Yang biasa.”
Bukan tanpa alasan mengapa ia mengenakan pakaian serba hitam karena saat ini ia sedang dalam kondisi berkabung. Adalah Maria, seorang wanita muda, yang mungkin lebih pantas menjadi anaknya atau muridnya, yang telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkannya untuk beristirahat dalam damai. Betapa berat hatinya untuk menerima kenyataan ini, tapi Maria telah benar-benar tiada dan hanya bisa ditemui di dalam pikirannya sekarang. Hanya tinggal kenangan yang dapat menghubungkan dirinya dengan sosok Maria yang muda dan cantik, matanya yang begitu menyegarkan, kulit putihnya yang mulus, rambut hitam legamnya, aroma parfum yang menggetarkan kejantanannya, bibir merah tipisnya dan suara yang dihasilkan saat mengecupnya, serta tubuh indah yang membuat jiwanya seperti kembali dari nol begitu selesai menikmatinya. Semua memori itu berdesakan di dalam kepalanya dan memaksanya untuk memahami arti dari sebuah kehilangan yang nyata. Takdir, menurutnya, telah membawa Maria pergi terlalu cepat dari matanya.
Maria adalah seorang malaikat, pikirnya. Ia menemukan malaikatnya itu di saat yang tepat, di saat kehidupan pribadinya mulai berkarat dan rutinitas pekerjaan menggerogotinya. Pernikahan telah membawanya ke dalam jurang kebosanan. Tidak ada lagi kebahagiaan yang dapat diimpikan. Ditambah lagi dengan 15 tahun lebih melakukan pekerjaan yang sama, mengajar dan mengajar, menyaksikan murid-murid datang dan pergi, dan meraih cita-cita mereka, lalu melupakan dirinya. Apa yang bisa ia gambarkan dari jalan hidupnya adalah sebuah deretan rasa hambar yang panjang.
Dan datanglah Maria, atau lebih tepatnya, ia mendatangi Maria. Dengan beralaskan ranjang yang berdecit dan balutan selimut tipis, malam demi malam dilewati mereka berdua dalam kehangatan. Maria telah kembali memperkenalkan dirinya pada kebebasan, melahirkan keutuhan dirinya, dan membawa dirinya pada babak baru dari kehidupan yang lebih bernyawa dari sebelumnya. Sedangkan dirinya terpantul dari balik mata Maria sebagai sosok orang tua, ayah, pelindung, cermin kedewasaan yang bijak yang selama ini hilang tak berbekas. Keduanya menikmati perannya masing-masing, di mana ketika kebebasan yang ditukar dengan kerinduan akan kasih sayang menjadi sebuah transaksi yang paling berharga dalam drama kehidupan ini.
Lalu tak lama kemudian, Sarah, sang pelayan, datang mengantarkan minuman pesanannya dalam gelas kaca.
Di tengah kenikmatannya mereguk minuman, lelaki kedua datang memasuki kedai. Matanya tampak sayu dan sebatang rokok dengan setia menempel di bibirnya yang menghitam. Ia masih muda, segar, dengan rambut yang masih subur dan ikal. Wajahnya bersih dari kerutan-kerutan, namun jelas sekali kesedihan sedang memayunginya. Ia berjalan dengan kedua tangan berada di saku jaketnya lalu duduk di sebelah lelaki pertama. Sambil meraih asbak di depannya, ia berkata pada si pelayan, “Sarah, ambilkan aku segelas minuman.”
Tak jauh berbeda dengan lelaki pertama, pemuda ini juga mengenakan setelan hitam. Kaos, jaket, celana, dan sepatunya serba hitam. Ia pun tengah tenggelam dalam kondisi berkabung. Adalah Maria, gadis yang telah merebut hatinya, yang kini terbaring pasrah di dalam tanah yang lembab, sendirian melangkah keluar dari pintu kehidupan, meninggalkan dirinya dalam angan-angan tentang cinta. Betapa berat hatinya untuk menerima kenyataan ini, tapi Maria telah benar-benar tiada dan hanya bisa ditemui di dalam pikirannya sekarang. Ia bisa kapan saja membangkitkan memori Maria di kepalanya dan mengingat senyum indahnya, suaranya yang lemah lembut, gelak tawa di tengah malam, gairah jiwa muda yang penuh semangat, sentuhan lentik jari-jarinya, dan bagaimana gejolak birahinya yang abstrak berubah menjadi sebuah kekuatan cinta yang manis hanya dalam waktu semalam.
Maria adalah belahan jiwanya, pikirnya. Dalam diri Maria, ia menumbuhkan perasaan cinta. Sebuah perasaan bahagia yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Kehidupan telah mendidiknya menjadi seorang remaja pembenci yang gelisah. Keluarga yang berantakan yang diwarnai oleh kemarahan sang ayah dan kasih sayang yang hilang dari seorang ibu. Perasaan terasing selalu betah meliputinya di manapun ia berada ditemani oleh kesendirian yang bersemayam di dalam jiwanya. Dan betapa ia selalu merasa marah tiap kali menyaksikan begitu mudahnya orang-orang menikmati hidup ini. Ia menyalahkan seisi dunia dan menganggap dirinya adalah korban dari lingkungan yang sudah kehilangan rasa peduli dan empati.
Dan di saat kesepian merenggut masa mudanya, ia bertemu Maria. Gadis yang memeluk tubuhnya, membelai rambutnya, mengecup bibirnya dengan penuh emosional. Malam demi malam mereka saling mengenal dan saling mengikat perasaan satu sama lain. Maria telah membersihkan hatinya dari luka dan amarah lalu menggantinya dengan haru-biru usia muda yang meletup-letup oleh keceriaan. Dirinya kembali tersenyum, berbunga-bunga, dan mendapatkan selera humornya yang mampu menghibur Maria hingga tertawa tersedak. Sedangkan Maria dibuai oleh keberadaan dirinya yang selalu dapat memerahkan hatinya. Keduanya menikmati perannya masing-masing, di mana ketika perasaan mencintai yang ditukar dengan hasrat untuk dicintai menjadi sebuah transaksi yang paling berharga dalam drama kehidupan ini.
Beberapa saat kemudian, Sarah datang menghampirinya dan membawakan segelas minuman.
Ia mengangkat gelasnya perlahan dan mereguknya dalam tatapan kosong. Sementara ia menyibukkan diri dengan minumannya, datanglah lelaki ketiga. Ia memasuki kedai dengan sedikit lunglai dan sepatunya membuat gema pada setiap langkah yang diambil. Ia mengenakan kacamata hitam yang menghalangi lampu-lampu di dalam kedai itu untuk menembus matanya. Dia adalah seorang mucikari. Badannya agak gemuk dan usianya lebih muda dari lelaki pertama namun lebih tua dari lelaki kedua. Ia mengenakan baju hangat dan celana panjang hitam. Sambil melirik dan sedikit tersenyum pada lelaki pertama dan kedua, ia duduk di kursinya lalu menyapa Sarah, “Malam Sarah, aku mau minum.”
Ia tidak datang sendirian. Di belakangnya beberapa gadis muda datang mengikutinya dengan sunyi. Mereka segera duduk dalam kelompok mengelilingi beberapa meja di belakang sementara lelaki ketiga duduk bersebelahan dengan lelaki pertama dan kedua di depan bar.
“Sekalian juga ambilkan mereka minuman,” serunya seraya membentangkan jempol kanannya ke arah perempuan-perempuan itu. Mereka semua tampak muram, bicara pelan-pelan, berbisik-bisik, dan beberapa di antaranya menangis terisak.
Tak jauh berbeda dengan para perempuan itu, lelaki ini pun dirudung kemuraman. Kacamata hitam tidak mampu menutupi kesedihannya. Adalah Maria, gadis jelita yang telah lama ia kenal baik itu kini tak bisa lagi berbagi hidup bersamanya karena ia telah pergi memenuhi panggilan suara-suara keabadian yang tak berujung jauh di sana. Betapa berat hatinya untuk menerima kenyataan ini, tapi Maria telah benar-benar tiada dan hanya bisa ditemui di dalam pikirannya sekarang. Entah mengapa beberapa saat terakhir ini bayangan Maria masih terus mengikutinya, suaranya terus mendengung di kedua telinga, caranya berjalan selalu terpantul di setiap gadis remaja yang ia lihat, sifatnya yang naïf tak pernah berhenti membuatnya tersenyum, nuansa kedamaian di wajahnya saat ia tertidur pulas berkali-kali merasuki benaknya dan tentu saja ia mengingat bagaimana Maria menyanyikan lagu ‘Happy Birthday’ dengan malu-malu di hari ulang tahunnya.
Maria adalah batu permata yang sangat mahal, pikirnya. Saat pertama kali melihatnya, ia tahu bahwa Maria adalah seorang bintang. Di tengah keputusasaannya atas ketamakan dunia yang mengancamnya dengan kemisikinan, Maria muncul membawa harapan. Hidup dalam ketidakpastian mendorongnya untuk mengambil setiap resiko demi menghadapi kerasnya tuntutan jaman. Tak ada lagi keadilan yang bisa ia harapkan dan apalah artinya norma dan hukum jika itu hanya menghalangi naluri alami manusia untuk bertahan hidup?
Maka takdir dan nasib buruk mempertemukan dirinya dengan Maria. Mereka berada di persimpangan jalan yang sama dan merasakan kebosanan yang sama besarnya terhadap kesengsaraan. Keinginan untuk meraih masa depan yang lebih baik membuat ikatan di antara keduanya menjadi semakin kuat dan lama kelamaan dirinya menyadari adanya ketertarikan yang samar terhadap Maria dan begitupun sebaliknya. Mereka tidak peduli dengan sorot mata peradaban yang terus menghakimi dan mencela. Keduanya menikmati perannya masing-masing, di mana ketika impian yang ditukar dengan kepolosan anak manusia menjadi sebuah transaksi yang paling berharga dalam drama kehidupan ini.
Dengan menyunggingkan senyumnya, kemudian Sarah datang menyuguhkan segelas minuman pesanannya lalu bolak-balik mengantarkan gelas-gelas minuman untuk para wanita di meja belakang.
Dan ketiga laki-laki itu pun menikmati tiap gelas minumannya dengan tanpa suara.
***
Kesunyian membuat malam terasa lebih dingin. Sarah mengambil kursinya lalu duduk berhadapan dengan tiga lelaki itu. Ia mengamati wajah mereka satu per satu. Raut wajah mereka tampak berat seolah bobot bumi ini sedang mereka pangku di atas pundak. Ia merasa kesedihan yang terpancar di setiap sudut ruangan ini mulai sedikit mengganggunya. Tak pernah sepanjang karirnya, ia mendapati kedai minuman ini begitu senyap seperti sebuah rumah tua yang terasing.
Sarah mengamati para gadis yang duduk di belakang. Beberapa di antaranya sedang minum dengan tenang, beberapa lagi sedang berbisik-bisik satu sama lain, dan sisanya menangis. Pandangannya lalu beralih pada lelaki ketiga yang gelasnya sudah setengah habis.
“Jadi,” Sarah memulai percakapan dengan nada pelan, “bisnis ditutup sementara untuk malam ini, ya?” katanya sambil menudingkan kedua matanya ke arah para gadis.
“Ya. Sebagai penghormatan untuk…” lelaki ketiga diam sejenak, mereguknya gelasnya sekali lagi lalu berkata,”…untuk dia.”
“Oh. Aku turut berduka cita.”
“Dia masih muda. Terlalu muda untuk ini.” Ia meneguk minumannya lagi dengan cepat.
“Ya, terlalu muda untuk ini semua,” ujar Sarah seraya menatap wajah dua lelaki lainnya satu per satu seakan mengharapkan reaksi balasan dari mereka. “Tapi namanya juga takdir, kalau sudah mati ya mau apa lagi?”
Lelaki ketiga menatap Sarah dari balik kacamata hitamnya dengan sedikit tajam. Ia merasa perkataan Sarah barusan sedikit mengganggu suasana khidmat yang sedang ia bangun bersama gelas minumannya. Tapi itu tak berlangsung lama, ia segera menyibukkan dirinya dengan minumannya lagi dan mengesampingkan ucapan Sarah.
Tapi perkataan Sarah tadi nampaknya juga memancing perhatian lelaki kedua. Ia tahu bahwa yang sedang dibicarakan oleh Sarah dan lelaki itu adalah Maria, gadis yang dicintainya, dan ia juga sudah cukup baik mengenal Sarah serta hubungan yang terjalin di antara Sarah dan Maria selama ini, sehingga ini mendorongnya untuk angkat bicara, “Sarah, bukankah di saat seperti sekarang ini, ada baiknya kalau kau sebentar saja melupakan perasaanmu terhadap dia? Bagaimana pun juga ia telah pergi dan kau juga tahu bagaimana perasaanku terhadapnya, jadi tak mungkin aku ingin mendengarkan kau mencibirnya malam ini.”
Sarah meluruskan badannya di atas kursi, “hei, memangnya apa yang barusan aku katakan?”
Tidak ada yang menjawab. Semua kembali terdiam. Mereka berusaha untuk tetap tenang dan memikirkan Maria di dalam pikirannya masing-masing. Sementara Sarah tetap tak beranjak memandangi ketiga lelaki itu dari kursinya. Ia menatap seperti sedang meneliti ketiga orang itu, mengawasi gerak-geriknya, dan bahkan tatapannya terkesan interogatif terhadap mereka.
“Dia gadis yang cantik,” Sarah kembali bicara, “sangat cantik dan muda. Tapi itu tidak menolongnya untuk melakukan sesuatu yang lebih baik untuk hidupnya sendiri.”
Ketiganya mendongak. Menatap Sarah secara bersamaan seakan ia baru saja membocorkan sebuah rahasia penting. Saat itu juga, ketiga lelaki itu memikirkan hal yang sama, ‘apa maksudnya Sarah mengatakan hal itu di saat seperti sekarang?’
“Apa maksudmu?” lelaki ketiga menjawab dengan cepat seolah menerima sebuah tantangan dari seseorang. “Maksudmu kau menuduhku? Menyalahkan aku yang menyeret dia dalam kehidupan ini, kehidupan malam? Kau tak tahu apa-apa Sarah. Kau tak bisa seenaknya saja. Aku tahu kau sedang menyalahkan aku, iya ‘kan? Apa maksudmu?”
“Apa aku mengatakannya dengan jelas, Tuan, bahwa aku sedang menyalahkanmu, atau menyalahkan dia, atau dia, atau perempuan-perempuan sundal di belakang sana? Aku sedang membicarakan gadis cantik itu. Dan kenapa pula tiba-tiba kau merasa gelisah?”
“Akh, Sarah! Ada apa dengan kau ini? Aku tahu apa yang hendak kau sampaikan. Aku tahu kau menuduhku karena membawanya untuk hidup seperti ini. Itu ‘kan yang kau maksud?”
“Aku hanya ingin mengatakan bahwa dia bisa saja hidup dengan lebih baik.”
“Kau memang tidak tahu apa-apa, Sarah. Maksudmu dia hidup dalam penderitaan? Memang iya, saat ia miskin dulu dia cukup sengsara. Tapi kau lihat sendiri ‘kan, kemudian ia bisa meraih mimpinya, ia bisa melepaskan diri dari kemiskinan, ia memiliki uang sendiri untuk membeli apapun yang ia suka. Aku yang membuatnya demikian dan aku menyayangi dia, lalu apa maksudmu dengan dia bisa hidup lebih baik dari ini?”
Sarah membisu. Ia seperti sedang berusaha menelaah kata-kata yang ia dengar atau mungkin justru sedang sibuk merangkai kata-kata untuk ia ucapkan. Bola matanya berputar-putar seakan tengah mencari titik fokus yang tepat.
Sementara itu, lelaki pertama yang sejak tadi diam, mengamati pembicaraan yang sedang terjadi. Dalam hatinya ia membenak, ‘apa maksudnya ia bisa hidup lebih baik lagi? Maria telah menjadi inspirasi hidupku dan menurutku itu cukup untuk membuktikan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang baik. Aku bisa saja hidup seperti mayat kalau bukan karena Maria. Tapi kenapa pernyataan tadi mengganjalku? Apa maksudnya ia bisa hidup lebih baik lagi?’
“Aku tahu maksudmu,” lelaki kedua tiba-tiba mengambil alih pembicaraan. “Tapi itu terlalu naïf untuk menghakimi Maria karena pekerjaannya. Ya, kita semua tahu profesinya sebagai seorang gadis bayaran…”
“Pelacur!” Sarah menyela.
“…ya seperti itulah menurutmu.” Ia menahan kalimatnya sejenak, menghisap rokoknya dalam-dalam untuk meredam sedikit rasa tersinggungnya saat Sarah mengatakan kata pelacur atas nama Maria. “Tapi sejak kita bertemu dan saling mencintai, apalah artinya profesi atau status sosial? Aku mencintainya karena ia seorang gadis yang sangat baik dan lembut. Ia telah merubahku. Aku tak peduli dengan apa yang ia lakukan, yang kutahu adalah aku selalu berusaha membuatnya tersenyum dan bahagia karena aku tahu kita saling mencintai. Persetan dengan kata orang lain! Berhentilah menghakimi seperti orang-orang di luar sana.”
“Huh, cinta kau bilang? Cinta macam apa? Apa itu cinta namanya bila membiarkan gadis yang kaucintai tidur dan bermesraan dengan orang lain tiap malam, hah? Apa yang kau maksud dengan membuatnya tersenyum dan bahagia? Tersenyum dan bahagia untuk setiap harga diri yang hilang dari dirinya? Itu maksudmu?”
“Hei!” Lelaki kedua bangkit dari kursinya, “berhenti menjelek-jelekkan dia seperti itu. Aku…”
“Menjelek-jelekkan?”
“…aku tak pernah menghakimi dia dengan cara apapun. Dan itulah yang membuat kita saling jatuh cinta, karena kita saling menerima perbedaan dan kekurangan masing-masing. Aku menerima dirinya apa adanya. Aku tak menghakimi dia dengan apapun jadi jangan sok bertingkah seperti hakim atau orang suci di sini, dengar itu, Sarah!” serunya sambil mengarahkan telunjuknya kepada Sarah.
“Dan Sarah,” lelaki ketiga kembali angkat bicara, “pikirkanlah baik-baik, apa menurutmu keadaannya akan lebih baik apabila ia hidup kelaparan, mengemis di jalan raya, atau tidur di kolong jembatan bersama tikus-tikus? Apa itu yang menurutmu kehidupan yang harus ia pilih? Setidaknya di sini,” ia menoleh ke arah lelaki kedua, “ia menemukan cinta dan hidup dengan lebih pantas.”
“Hidup lebih pantas?”
“Ya. Tentu saja.”
Sarah lalu terdiam. Lelaki kedua kembali duduk dan menghisap rokoknya. Lelaki ketiga meneguk gelasnya, kali ini dengan pelan-pelan karena minumannya hampir habis. Sementara lelaki pertama tetap membisu. Ia memilih untuk menjadi penonton dan tak terlalu ikut campur. Namun ia kembali bicara di dalam hatinya, ‘pelacur dia bilang? Apakah Maria benar-benar seorang pelacur? Apa itu cinta bila membiarkan Maria tidur dengan orang lain tiap malam? Tapi yang kutahu Maria baik-baik saja. Ia gadis muda yang cantik dan ia merasakan jatuh cinta dan hidup lepas dari kemisikinan dan aku yakin ia bahagia. Aku ingat saat ia menatapku layaknya seorang anak perempuan yang begitu merindukan bapaknya. Dan aku menjalani peran itu untuk membuatnya senang. Apa lagi yang kurang? Kulihat dia begitu berarti bagi dua lelaki ini. Tapi kenapa wanita ini berbicara seolah-olah hidup Maria tidak ada artinya?’
“Hidup lebih pantas?” Sarah kembali memulai percakapan. “Apakah gadis seperti Maria memiliki hidup yang lebih pantas?”
“Ya. Ketimbang hidup seperti yang kugambarkan tadi, menggigil di kolong jembatan bersama tikus-tikus.” Lelaki ketiga menjawab dengan nada meyakinkan.
“Dan dengan hidup seperti selama ini ia dibilang hidup dengan lebih pantas? Dengan kasih sayang, perhatian, cinta, impian, dan materi, maka menurut kalian ia telah hidup dengan lebih pantas?” tanya Sarah sambil melirik ketiga lelaki itu satu per satu.
“Tentu saja. Apa lagi yang kau harapkan?” jawab lelaki kedua yang diikuti oleh anggukan kepala lelaki ketiga.
“Ya memang ia memiliki semua yang tiap gadis seusianya inginkan. Tapi apa menurut kalian ia punya cukup daya untuk bisa memiliki dirinya sendiri? Apa ia cukup berani untuk memiliki tubuhnya sendiri? Aku ingin tanya apa selama ini ia telah hidup untuk dirinya?”
“Ia melakukan pekerjaannya dengan profesional. Itu sudah jadi bagian dari profesi, karena…mmm…kau tentu tahu bagaimana cara orang melakukan hubungan seks ‘kan? Dan kau tahu bahwa ini adalah transaksi antara tubuh yang satu dengan tubuh lainnya. Harus ada yang dikorbankan. Selalu ada resiko yang diambil untuk bisa memperoleh sesuatu dalam hidup ini,” ujar lelaki ketiga.
“Ya. Berhentilah menghakimi pekerjaannya. Sejak awal kau memang selalu suka memberinya label sebagai pelacur. Kau harus melihatnya lebih dalam lagi, karena terlepas dari pekerjaannya, ia hanyalah gadis muda biasa. Seorang pelacur tidak mungkin bisa jatuh cinta,” lelaki kedua membalas.
“Tunggu sebentar,” Sarah mengangkat kedua tangannya,” sepertinya kalian salah mengartikan maksudku. Sudah kubilang bahwa yang kubicarakan sejak tadi adalah gadis muda itu. Aku tak membicarakan pekerjaannya. Aku tak mempermasalahkan profesi seks-nya. Aku tak membicarakan masalah moralnya. Tapi yang kumaksud dengan ‘hidup yang lebih baik’ adalah mengenai masa depannya. Apa kalian juga sempat memikirkan mengenai masa depannya?” seru Sarah sambil melirik pada lelaki ketiga. “Apa kau juga sempat berbicara tentang masa depan dengannya?” serunya lagi sambil melirik pada lelaki kedua.
Ketiga lelaki itu terdiam. Pancaran muka mereka memperlihatkan semacam antusiasme untuk mendengarkan perkataan Sarah lebih lanjut.
“Di mana masa depan Maria sekarang? Apa di antara kalian ada yang pernah melihatnya? Menyentuhnya? Atau memeluknya seperti yang kalian lakukan pada tubuhnya? Dari semua yang kalian berikan padanya dan semua yang ia terima dari kalian selama ini, apakah salah satunya adalah masa depannya sendiri?”
“Apa maksudnya? Masa depan Maria?” tanya lelaki ketiga.
“Ya, itu dia! Masa depan Maria. Kalian memberikan segalanya yang seorang gadis muda dan lugu impi-impikan dalam hidupnya. Kalian memberinya surga dan segala macamnya. Tapi apa yang kalian berikan untuk masa depannya? Dia bekerja di sini, lalu meraih segalanya dengan cepat lewat kecantikannya dan usianya yang masih muda. Tidak sulit baginya untuk meraih popularitas bahkan mendapatkan simpati dari kalian. Hanya saja ia terlalu lugu untuk dapat menyadari bahwa semua itu justru menggerogoti hidupnya sendiri. Cinta, kasih sayang, perhatian yang ia dapat hanyalah ilusi karena semuanya lahir dari sesuatu yang sifatnya sementara. Karena pada dasarnya ia hanyalah objek dari pelampiasan akan ketidakpuasan yang kalian rasakan dari hidup kalian. Semua rasa itu, semua yang membuatnya bahagia, semua yang membuat hidupnya lebih pantas, hanya datang untuk semalam, lalu ketika kalian merasa telah terobati oleh kehadiran Maria, lalu kalian pergi dan begitu pun dengan cinta, kasih sayang, perhatian yang kalian beri. Yang tersisa hanya perasaan semu yang aneh yang menghantui Maria seperti candu.”
Sarah berhenti sejenak untuk mengambil napasnya. Lalu kembali melanjutkan.
“Ia seperti orang yang kecanduan. Ia merindukan kalian untuk merasakan lagi perasaan-perasaan menyenangkan yang ia dapat. Sementara kalian menempatkannya seperti semacam pil atau tablet yang kalian minum saat merasa sakit. Mungkin memang benar kau menyayanginya, mungkin juga benar kau mencintainya, tapi rasa itu hanya bertahan dalam waktu sekejap. Karena kalian semua hanya dapat membuktikan semua perasaan itu untuk waktu semalam, tidak lebih lama dari itu, tanpa kedalaman atau ikatan emosi yang kuat, sedangkan Maria menyangka telah mendapatkan apa yang ia mau. Kalian telah membiarkan Maria menukar masa depannya dengan kematian. Kematian yang menyedihkan karena AIDS! Kalian paham dengan maksudku?”
Suasana menjadi hening. Ketiga lelaki masih menatap Sarah, berharap dapat mendengar lanjutan ceramahnya, tapi Sarah telah menutup pembicaraannya dengan pertanyaan. Dengan pandangan yang tak beranjak, lelaki kedua menjawab pertanyaan Sarah dengan perasaan yang membelalak dan nada polos, “Jadi, kau menuduh kamilah yang menularkan AIDS padanya?”
“Tidak.” Sarah menajawab cepat. “Tapi kalianlah yang membiarkannya mati karena AIDS. Ia memang telah hidup dengan pantas, tapi tidak hidup dengan lebih baik!”
Ketiganya diam. Lelaki ketiga menghabiskan minumnya dalam sekali teguk, lalu menoleh ke jam tangannya dan merogoh uang dari dompetnya. Ia menaruh sejumlah uang di atas meja. “Simpan kembaliannya,” ia berkata pada Sarah, lalu beranjak dari kursinya dan meninggalkan kedai seperti orang yang sedang dikejar waktu dengan diikuti oleh para gadis di belakangnya.
Lelaki kedua mematikan rokoknya di atas asbak. Ia berdiri dari kursinya lalu menatap Sarah dengan tatapan seorang anak yang baru menerima hukuman dari ibunya. “Kau tahu, aku selalu merasa bahwa aku mencintai Maria.”
“Kau mencintai Maria. Tapi bukan gadis muda yang ada di balik tubuhnya. Gadis polos yang berharap memiliki cukup kekuatan untuk melepaskan Maria dari tubuhnya.”
Lelaki kedua diam. Ia mengambil sejumlah uang dan meletakkannya di atas meja. Ia menyalakan rokoknya lagi. Sebelum berlalu, ia kembali menatap Sarah dan berkata, “Aku rasa iya.” Dan ia melangkah pergi keluar kedai.
Lelaki pertama masih duduk di tempatnya. Ia memegang gelasnya dan menggoyang-goyangkannya pelan. Dalam hatinya ia bicara. ‘jadi, benarkah selama ini Maria hanyalah sebuah boneka? Yang kumainkan di saat-saat aku merasa sedih? Yang kumainkan untuk mengganti rasa ketidakpuasanku? Apakah ketika aku menatap kedua matanya, aku telah benar-benar menatap Maria? Apakah itu tubuh Maria yang kusentuh? Lalu miliki siapa hidupnya Maria? Apa sejak awal ia memiliki masa depannya sendiri?’
“Menurutmu apa sejak awal…Maria memiliki masa depannya sendiri?” lelaki pertama bicara untuk pertama kalinya.
“Ya. Kupikir begitu,” ujar Sarah, “tapi, ia lebih memilih untuk melepaskannya pergi.”
Lelaki pertama mengangguk seperti seorang murid yang mendengar gurunya. Ia lalu pergi dengan menyerahkan uang pas di atas meja dan berpikir untuk tak kembali lagi ke kedai minum itu.
Sementara Sarah, sendirian duduk di atas kursinya, menyaksikan kursi-kursi dan meja-meja kosong dan kesunyian yang mengelilinginya. Ia hanya duduk dengan tatapan hampa dan di dalam kepalanya, ia kembali membayangkan Maria.
***
Kurang lebih setahun lalu, Sarah duduk di kursinya menyaksikan orang-orang yang sedang memenuhi kedainya. Mereka tampak gembira dan begitu hilang kendali sambil tertawa keras, bernyanyi, berjoget, mabuk, dan berbicara tak karuan. Sarah berpikir, bahwa ia merasa muak dengan semua kegilaan ini. Setiap malam ia harus membuatkan minuman untuk para manusia tak berguna yang bertingkah seperti babi. Belum lagi dengan para lelaki hidung belang yang gemar memegangi payudara dan bokong para gadis bayaran layaknya balon di depan matanya. Ia merasa bahwa kariernya sebagai pembuat minuman di kedai ini harus segera diakhiri.
Ia memiliki sebuah rencana. Sebuah rencana untuk pergi menyeberangi pulau dan bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran di mana ia tak harus bertemu dengan pelacur, germo, penari telanjang, para mata keranjang dan semacamnya. Ia telah menyiapkan segalanya, uang tabungannya dan keteguhan hatinya. Di dalam angan-anganya, ia ingin sekali suatu saat bisa membuka sebuah restoran atau kafe di kota besar. Itulah impiannya. Masa depannya. Yang menunggu untuk diwujudkan.
Namun suatu malam, takdir menghalangi niatnya. Ia melihat seorang gadis muda yang masuk ke dalam kedainya bersama dengan seorang pria yang memeluknya. Gadis itu tampak malu-malu dan sedikit canggung sehingga setiap saat ia berusaha untuk memasang senyumnya semanis mungkin. Sarah tak bergeming dari tempatnya. Lalu gadis itu mendatanginya bersama pria itu dan duduk di depannya. Sarah tak mendengar apa yang dikatakan pria itu padanya karena ia terus menatap sang gadis dengan sebuah kekaguman. Gadis itupun membalas tatapannya dengan tersenyum. Dan tanpa disadari, alam bawah sadarnya bertanya, ‘apa yang dilakukan oleh gadis secantik itu di bagian paling buruk dari kota ini?’
Keberadaan gadis itu menunda niatnya untuk pergi. Ia merasakan sesuatu ketika tiap malam, gadis itu datang ke kedai bersama pria lain sementara ia hanya diam menatapnya. Ia merasakan semakin hari gadis itu menjadi semakin cantik dan memesona kedua matanya. Ia tak dapat mengartikan perasaan aneh yang tumbuh dirinya.
Hingga suatu saat ia mendapati gadis itu duduk sendiri di depannya. Ia berkenalan. Berbincang dengan akrab yang diselingi tawa dan senyum. Sarah tak berhenti menatap matanya. Mendengarkan suaranya yang kecil dan renyah. Dan berbincang dengan begitu akrabnya.
Lalu ia membeberkan rencananya. Mengutarakan niat dan cita-citanya untuk pergi dari tempat ini dan membangun impian di tempat lain. Ia berbicara dengan serius sementara gadis itu diam menyimak tiap kata yang keluar dari mulutnya. Ia melihat pancaran ketertarikan dari kedua bola mata sang gadis yang bulat akan keinginannya untuk merantau. Dan di akhir ceritanya, dengan penuh harap ia mengajak gadis itu untuk ikut bersamanya meninggalkan tempat kotor ini. Untuk membangun sebuah masa depan yang cerah bersama-sama.
Awalnya gadis itu hanya diam. Beberapa saat kemudian, ia menjawab dalam nada suara yang menggeser kepolosannya dalam sekejap, “Maaf Sarah, sepertinya tidak. Karena di sini aku telah mendapatkan segalanya yang aku mau.” Ia termenung di bawah penolakan itu sementara sang gadis pergi meninggalkannya.
Sejak saat itu, tiap kali ia melihat gadis itu di kedainya, hatinya selalu bertanya, ‘mengapa kau menolakku? Padahal kau bisa mendapatkan hidup yang lebih baik denganku.’
Sejak saat itu, ia mengurungkan niatnya untuk pergi dan menyaksikan dari kursinya, gadis polos itu perlahan berubah menjadi seorang Maria.
***
Bukan tanpa alasan mengapa ia mengenakan pakaian serba hitam karena saat ini ia sedang dalam kondisi berkabung. Adalah Maria, seorang wanita muda, yang mungkin lebih pantas menjadi anaknya atau muridnya, yang telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkannya untuk beristirahat dalam damai. Betapa berat hatinya untuk menerima kenyataan ini, tapi Maria telah benar-benar tiada dan hanya bisa ditemui di dalam pikirannya sekarang. Hanya tinggal kenangan yang dapat menghubungkan dirinya dengan sosok Maria yang muda dan cantik, matanya yang begitu menyegarkan, kulit putihnya yang mulus, rambut hitam legamnya, aroma parfum yang menggetarkan kejantanannya, bibir merah tipisnya dan suara yang dihasilkan saat mengecupnya, serta tubuh indah yang membuat jiwanya seperti kembali dari nol begitu selesai menikmatinya. Semua memori itu berdesakan di dalam kepalanya dan memaksanya untuk memahami arti dari sebuah kehilangan yang nyata. Takdir, menurutnya, telah membawa Maria pergi terlalu cepat dari matanya.
Maria adalah seorang malaikat, pikirnya. Ia menemukan malaikatnya itu di saat yang tepat, di saat kehidupan pribadinya mulai berkarat dan rutinitas pekerjaan menggerogotinya. Pernikahan telah membawanya ke dalam jurang kebosanan. Tidak ada lagi kebahagiaan yang dapat diimpikan. Ditambah lagi dengan 15 tahun lebih melakukan pekerjaan yang sama, mengajar dan mengajar, menyaksikan murid-murid datang dan pergi, dan meraih cita-cita mereka, lalu melupakan dirinya. Apa yang bisa ia gambarkan dari jalan hidupnya adalah sebuah deretan rasa hambar yang panjang.
Dan datanglah Maria, atau lebih tepatnya, ia mendatangi Maria. Dengan beralaskan ranjang yang berdecit dan balutan selimut tipis, malam demi malam dilewati mereka berdua dalam kehangatan. Maria telah kembali memperkenalkan dirinya pada kebebasan, melahirkan keutuhan dirinya, dan membawa dirinya pada babak baru dari kehidupan yang lebih bernyawa dari sebelumnya. Sedangkan dirinya terpantul dari balik mata Maria sebagai sosok orang tua, ayah, pelindung, cermin kedewasaan yang bijak yang selama ini hilang tak berbekas. Keduanya menikmati perannya masing-masing, di mana ketika kebebasan yang ditukar dengan kerinduan akan kasih sayang menjadi sebuah transaksi yang paling berharga dalam drama kehidupan ini.
Lalu tak lama kemudian, Sarah, sang pelayan, datang mengantarkan minuman pesanannya dalam gelas kaca.
Di tengah kenikmatannya mereguk minuman, lelaki kedua datang memasuki kedai. Matanya tampak sayu dan sebatang rokok dengan setia menempel di bibirnya yang menghitam. Ia masih muda, segar, dengan rambut yang masih subur dan ikal. Wajahnya bersih dari kerutan-kerutan, namun jelas sekali kesedihan sedang memayunginya. Ia berjalan dengan kedua tangan berada di saku jaketnya lalu duduk di sebelah lelaki pertama. Sambil meraih asbak di depannya, ia berkata pada si pelayan, “Sarah, ambilkan aku segelas minuman.”
Tak jauh berbeda dengan lelaki pertama, pemuda ini juga mengenakan setelan hitam. Kaos, jaket, celana, dan sepatunya serba hitam. Ia pun tengah tenggelam dalam kondisi berkabung. Adalah Maria, gadis yang telah merebut hatinya, yang kini terbaring pasrah di dalam tanah yang lembab, sendirian melangkah keluar dari pintu kehidupan, meninggalkan dirinya dalam angan-angan tentang cinta. Betapa berat hatinya untuk menerima kenyataan ini, tapi Maria telah benar-benar tiada dan hanya bisa ditemui di dalam pikirannya sekarang. Ia bisa kapan saja membangkitkan memori Maria di kepalanya dan mengingat senyum indahnya, suaranya yang lemah lembut, gelak tawa di tengah malam, gairah jiwa muda yang penuh semangat, sentuhan lentik jari-jarinya, dan bagaimana gejolak birahinya yang abstrak berubah menjadi sebuah kekuatan cinta yang manis hanya dalam waktu semalam.
Maria adalah belahan jiwanya, pikirnya. Dalam diri Maria, ia menumbuhkan perasaan cinta. Sebuah perasaan bahagia yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Kehidupan telah mendidiknya menjadi seorang remaja pembenci yang gelisah. Keluarga yang berantakan yang diwarnai oleh kemarahan sang ayah dan kasih sayang yang hilang dari seorang ibu. Perasaan terasing selalu betah meliputinya di manapun ia berada ditemani oleh kesendirian yang bersemayam di dalam jiwanya. Dan betapa ia selalu merasa marah tiap kali menyaksikan begitu mudahnya orang-orang menikmati hidup ini. Ia menyalahkan seisi dunia dan menganggap dirinya adalah korban dari lingkungan yang sudah kehilangan rasa peduli dan empati.
Dan di saat kesepian merenggut masa mudanya, ia bertemu Maria. Gadis yang memeluk tubuhnya, membelai rambutnya, mengecup bibirnya dengan penuh emosional. Malam demi malam mereka saling mengenal dan saling mengikat perasaan satu sama lain. Maria telah membersihkan hatinya dari luka dan amarah lalu menggantinya dengan haru-biru usia muda yang meletup-letup oleh keceriaan. Dirinya kembali tersenyum, berbunga-bunga, dan mendapatkan selera humornya yang mampu menghibur Maria hingga tertawa tersedak. Sedangkan Maria dibuai oleh keberadaan dirinya yang selalu dapat memerahkan hatinya. Keduanya menikmati perannya masing-masing, di mana ketika perasaan mencintai yang ditukar dengan hasrat untuk dicintai menjadi sebuah transaksi yang paling berharga dalam drama kehidupan ini.
Beberapa saat kemudian, Sarah datang menghampirinya dan membawakan segelas minuman.
Ia mengangkat gelasnya perlahan dan mereguknya dalam tatapan kosong. Sementara ia menyibukkan diri dengan minumannya, datanglah lelaki ketiga. Ia memasuki kedai dengan sedikit lunglai dan sepatunya membuat gema pada setiap langkah yang diambil. Ia mengenakan kacamata hitam yang menghalangi lampu-lampu di dalam kedai itu untuk menembus matanya. Dia adalah seorang mucikari. Badannya agak gemuk dan usianya lebih muda dari lelaki pertama namun lebih tua dari lelaki kedua. Ia mengenakan baju hangat dan celana panjang hitam. Sambil melirik dan sedikit tersenyum pada lelaki pertama dan kedua, ia duduk di kursinya lalu menyapa Sarah, “Malam Sarah, aku mau minum.”
Ia tidak datang sendirian. Di belakangnya beberapa gadis muda datang mengikutinya dengan sunyi. Mereka segera duduk dalam kelompok mengelilingi beberapa meja di belakang sementara lelaki ketiga duduk bersebelahan dengan lelaki pertama dan kedua di depan bar.
“Sekalian juga ambilkan mereka minuman,” serunya seraya membentangkan jempol kanannya ke arah perempuan-perempuan itu. Mereka semua tampak muram, bicara pelan-pelan, berbisik-bisik, dan beberapa di antaranya menangis terisak.
Tak jauh berbeda dengan para perempuan itu, lelaki ini pun dirudung kemuraman. Kacamata hitam tidak mampu menutupi kesedihannya. Adalah Maria, gadis jelita yang telah lama ia kenal baik itu kini tak bisa lagi berbagi hidup bersamanya karena ia telah pergi memenuhi panggilan suara-suara keabadian yang tak berujung jauh di sana. Betapa berat hatinya untuk menerima kenyataan ini, tapi Maria telah benar-benar tiada dan hanya bisa ditemui di dalam pikirannya sekarang. Entah mengapa beberapa saat terakhir ini bayangan Maria masih terus mengikutinya, suaranya terus mendengung di kedua telinga, caranya berjalan selalu terpantul di setiap gadis remaja yang ia lihat, sifatnya yang naïf tak pernah berhenti membuatnya tersenyum, nuansa kedamaian di wajahnya saat ia tertidur pulas berkali-kali merasuki benaknya dan tentu saja ia mengingat bagaimana Maria menyanyikan lagu ‘Happy Birthday’ dengan malu-malu di hari ulang tahunnya.
Maria adalah batu permata yang sangat mahal, pikirnya. Saat pertama kali melihatnya, ia tahu bahwa Maria adalah seorang bintang. Di tengah keputusasaannya atas ketamakan dunia yang mengancamnya dengan kemisikinan, Maria muncul membawa harapan. Hidup dalam ketidakpastian mendorongnya untuk mengambil setiap resiko demi menghadapi kerasnya tuntutan jaman. Tak ada lagi keadilan yang bisa ia harapkan dan apalah artinya norma dan hukum jika itu hanya menghalangi naluri alami manusia untuk bertahan hidup?
Maka takdir dan nasib buruk mempertemukan dirinya dengan Maria. Mereka berada di persimpangan jalan yang sama dan merasakan kebosanan yang sama besarnya terhadap kesengsaraan. Keinginan untuk meraih masa depan yang lebih baik membuat ikatan di antara keduanya menjadi semakin kuat dan lama kelamaan dirinya menyadari adanya ketertarikan yang samar terhadap Maria dan begitupun sebaliknya. Mereka tidak peduli dengan sorot mata peradaban yang terus menghakimi dan mencela. Keduanya menikmati perannya masing-masing, di mana ketika impian yang ditukar dengan kepolosan anak manusia menjadi sebuah transaksi yang paling berharga dalam drama kehidupan ini.
Dengan menyunggingkan senyumnya, kemudian Sarah datang menyuguhkan segelas minuman pesanannya lalu bolak-balik mengantarkan gelas-gelas minuman untuk para wanita di meja belakang.
Dan ketiga laki-laki itu pun menikmati tiap gelas minumannya dengan tanpa suara.
***
Kesunyian membuat malam terasa lebih dingin. Sarah mengambil kursinya lalu duduk berhadapan dengan tiga lelaki itu. Ia mengamati wajah mereka satu per satu. Raut wajah mereka tampak berat seolah bobot bumi ini sedang mereka pangku di atas pundak. Ia merasa kesedihan yang terpancar di setiap sudut ruangan ini mulai sedikit mengganggunya. Tak pernah sepanjang karirnya, ia mendapati kedai minuman ini begitu senyap seperti sebuah rumah tua yang terasing.
Sarah mengamati para gadis yang duduk di belakang. Beberapa di antaranya sedang minum dengan tenang, beberapa lagi sedang berbisik-bisik satu sama lain, dan sisanya menangis. Pandangannya lalu beralih pada lelaki ketiga yang gelasnya sudah setengah habis.
“Jadi,” Sarah memulai percakapan dengan nada pelan, “bisnis ditutup sementara untuk malam ini, ya?” katanya sambil menudingkan kedua matanya ke arah para gadis.
“Ya. Sebagai penghormatan untuk…” lelaki ketiga diam sejenak, mereguknya gelasnya sekali lagi lalu berkata,”…untuk dia.”
“Oh. Aku turut berduka cita.”
“Dia masih muda. Terlalu muda untuk ini.” Ia meneguk minumannya lagi dengan cepat.
“Ya, terlalu muda untuk ini semua,” ujar Sarah seraya menatap wajah dua lelaki lainnya satu per satu seakan mengharapkan reaksi balasan dari mereka. “Tapi namanya juga takdir, kalau sudah mati ya mau apa lagi?”
Lelaki ketiga menatap Sarah dari balik kacamata hitamnya dengan sedikit tajam. Ia merasa perkataan Sarah barusan sedikit mengganggu suasana khidmat yang sedang ia bangun bersama gelas minumannya. Tapi itu tak berlangsung lama, ia segera menyibukkan dirinya dengan minumannya lagi dan mengesampingkan ucapan Sarah.
Tapi perkataan Sarah tadi nampaknya juga memancing perhatian lelaki kedua. Ia tahu bahwa yang sedang dibicarakan oleh Sarah dan lelaki itu adalah Maria, gadis yang dicintainya, dan ia juga sudah cukup baik mengenal Sarah serta hubungan yang terjalin di antara Sarah dan Maria selama ini, sehingga ini mendorongnya untuk angkat bicara, “Sarah, bukankah di saat seperti sekarang ini, ada baiknya kalau kau sebentar saja melupakan perasaanmu terhadap dia? Bagaimana pun juga ia telah pergi dan kau juga tahu bagaimana perasaanku terhadapnya, jadi tak mungkin aku ingin mendengarkan kau mencibirnya malam ini.”
Sarah meluruskan badannya di atas kursi, “hei, memangnya apa yang barusan aku katakan?”
Tidak ada yang menjawab. Semua kembali terdiam. Mereka berusaha untuk tetap tenang dan memikirkan Maria di dalam pikirannya masing-masing. Sementara Sarah tetap tak beranjak memandangi ketiga lelaki itu dari kursinya. Ia menatap seperti sedang meneliti ketiga orang itu, mengawasi gerak-geriknya, dan bahkan tatapannya terkesan interogatif terhadap mereka.
“Dia gadis yang cantik,” Sarah kembali bicara, “sangat cantik dan muda. Tapi itu tidak menolongnya untuk melakukan sesuatu yang lebih baik untuk hidupnya sendiri.”
Ketiganya mendongak. Menatap Sarah secara bersamaan seakan ia baru saja membocorkan sebuah rahasia penting. Saat itu juga, ketiga lelaki itu memikirkan hal yang sama, ‘apa maksudnya Sarah mengatakan hal itu di saat seperti sekarang?’
“Apa maksudmu?” lelaki ketiga menjawab dengan cepat seolah menerima sebuah tantangan dari seseorang. “Maksudmu kau menuduhku? Menyalahkan aku yang menyeret dia dalam kehidupan ini, kehidupan malam? Kau tak tahu apa-apa Sarah. Kau tak bisa seenaknya saja. Aku tahu kau sedang menyalahkan aku, iya ‘kan? Apa maksudmu?”
“Apa aku mengatakannya dengan jelas, Tuan, bahwa aku sedang menyalahkanmu, atau menyalahkan dia, atau dia, atau perempuan-perempuan sundal di belakang sana? Aku sedang membicarakan gadis cantik itu. Dan kenapa pula tiba-tiba kau merasa gelisah?”
“Akh, Sarah! Ada apa dengan kau ini? Aku tahu apa yang hendak kau sampaikan. Aku tahu kau menuduhku karena membawanya untuk hidup seperti ini. Itu ‘kan yang kau maksud?”
“Aku hanya ingin mengatakan bahwa dia bisa saja hidup dengan lebih baik.”
“Kau memang tidak tahu apa-apa, Sarah. Maksudmu dia hidup dalam penderitaan? Memang iya, saat ia miskin dulu dia cukup sengsara. Tapi kau lihat sendiri ‘kan, kemudian ia bisa meraih mimpinya, ia bisa melepaskan diri dari kemiskinan, ia memiliki uang sendiri untuk membeli apapun yang ia suka. Aku yang membuatnya demikian dan aku menyayangi dia, lalu apa maksudmu dengan dia bisa hidup lebih baik dari ini?”
Sarah membisu. Ia seperti sedang berusaha menelaah kata-kata yang ia dengar atau mungkin justru sedang sibuk merangkai kata-kata untuk ia ucapkan. Bola matanya berputar-putar seakan tengah mencari titik fokus yang tepat.
Sementara itu, lelaki pertama yang sejak tadi diam, mengamati pembicaraan yang sedang terjadi. Dalam hatinya ia membenak, ‘apa maksudnya ia bisa hidup lebih baik lagi? Maria telah menjadi inspirasi hidupku dan menurutku itu cukup untuk membuktikan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang baik. Aku bisa saja hidup seperti mayat kalau bukan karena Maria. Tapi kenapa pernyataan tadi mengganjalku? Apa maksudnya ia bisa hidup lebih baik lagi?’
“Aku tahu maksudmu,” lelaki kedua tiba-tiba mengambil alih pembicaraan. “Tapi itu terlalu naïf untuk menghakimi Maria karena pekerjaannya. Ya, kita semua tahu profesinya sebagai seorang gadis bayaran…”
“Pelacur!” Sarah menyela.
“…ya seperti itulah menurutmu.” Ia menahan kalimatnya sejenak, menghisap rokoknya dalam-dalam untuk meredam sedikit rasa tersinggungnya saat Sarah mengatakan kata pelacur atas nama Maria. “Tapi sejak kita bertemu dan saling mencintai, apalah artinya profesi atau status sosial? Aku mencintainya karena ia seorang gadis yang sangat baik dan lembut. Ia telah merubahku. Aku tak peduli dengan apa yang ia lakukan, yang kutahu adalah aku selalu berusaha membuatnya tersenyum dan bahagia karena aku tahu kita saling mencintai. Persetan dengan kata orang lain! Berhentilah menghakimi seperti orang-orang di luar sana.”
“Huh, cinta kau bilang? Cinta macam apa? Apa itu cinta namanya bila membiarkan gadis yang kaucintai tidur dan bermesraan dengan orang lain tiap malam, hah? Apa yang kau maksud dengan membuatnya tersenyum dan bahagia? Tersenyum dan bahagia untuk setiap harga diri yang hilang dari dirinya? Itu maksudmu?”
“Hei!” Lelaki kedua bangkit dari kursinya, “berhenti menjelek-jelekkan dia seperti itu. Aku…”
“Menjelek-jelekkan?”
“…aku tak pernah menghakimi dia dengan cara apapun. Dan itulah yang membuat kita saling jatuh cinta, karena kita saling menerima perbedaan dan kekurangan masing-masing. Aku menerima dirinya apa adanya. Aku tak menghakimi dia dengan apapun jadi jangan sok bertingkah seperti hakim atau orang suci di sini, dengar itu, Sarah!” serunya sambil mengarahkan telunjuknya kepada Sarah.
“Dan Sarah,” lelaki ketiga kembali angkat bicara, “pikirkanlah baik-baik, apa menurutmu keadaannya akan lebih baik apabila ia hidup kelaparan, mengemis di jalan raya, atau tidur di kolong jembatan bersama tikus-tikus? Apa itu yang menurutmu kehidupan yang harus ia pilih? Setidaknya di sini,” ia menoleh ke arah lelaki kedua, “ia menemukan cinta dan hidup dengan lebih pantas.”
“Hidup lebih pantas?”
“Ya. Tentu saja.”
Sarah lalu terdiam. Lelaki kedua kembali duduk dan menghisap rokoknya. Lelaki ketiga meneguk gelasnya, kali ini dengan pelan-pelan karena minumannya hampir habis. Sementara lelaki pertama tetap membisu. Ia memilih untuk menjadi penonton dan tak terlalu ikut campur. Namun ia kembali bicara di dalam hatinya, ‘pelacur dia bilang? Apakah Maria benar-benar seorang pelacur? Apa itu cinta bila membiarkan Maria tidur dengan orang lain tiap malam? Tapi yang kutahu Maria baik-baik saja. Ia gadis muda yang cantik dan ia merasakan jatuh cinta dan hidup lepas dari kemisikinan dan aku yakin ia bahagia. Aku ingat saat ia menatapku layaknya seorang anak perempuan yang begitu merindukan bapaknya. Dan aku menjalani peran itu untuk membuatnya senang. Apa lagi yang kurang? Kulihat dia begitu berarti bagi dua lelaki ini. Tapi kenapa wanita ini berbicara seolah-olah hidup Maria tidak ada artinya?’
“Hidup lebih pantas?” Sarah kembali memulai percakapan. “Apakah gadis seperti Maria memiliki hidup yang lebih pantas?”
“Ya. Ketimbang hidup seperti yang kugambarkan tadi, menggigil di kolong jembatan bersama tikus-tikus.” Lelaki ketiga menjawab dengan nada meyakinkan.
“Dan dengan hidup seperti selama ini ia dibilang hidup dengan lebih pantas? Dengan kasih sayang, perhatian, cinta, impian, dan materi, maka menurut kalian ia telah hidup dengan lebih pantas?” tanya Sarah sambil melirik ketiga lelaki itu satu per satu.
“Tentu saja. Apa lagi yang kau harapkan?” jawab lelaki kedua yang diikuti oleh anggukan kepala lelaki ketiga.
“Ya memang ia memiliki semua yang tiap gadis seusianya inginkan. Tapi apa menurut kalian ia punya cukup daya untuk bisa memiliki dirinya sendiri? Apa ia cukup berani untuk memiliki tubuhnya sendiri? Aku ingin tanya apa selama ini ia telah hidup untuk dirinya?”
“Ia melakukan pekerjaannya dengan profesional. Itu sudah jadi bagian dari profesi, karena…mmm…kau tentu tahu bagaimana cara orang melakukan hubungan seks ‘kan? Dan kau tahu bahwa ini adalah transaksi antara tubuh yang satu dengan tubuh lainnya. Harus ada yang dikorbankan. Selalu ada resiko yang diambil untuk bisa memperoleh sesuatu dalam hidup ini,” ujar lelaki ketiga.
“Ya. Berhentilah menghakimi pekerjaannya. Sejak awal kau memang selalu suka memberinya label sebagai pelacur. Kau harus melihatnya lebih dalam lagi, karena terlepas dari pekerjaannya, ia hanyalah gadis muda biasa. Seorang pelacur tidak mungkin bisa jatuh cinta,” lelaki kedua membalas.
“Tunggu sebentar,” Sarah mengangkat kedua tangannya,” sepertinya kalian salah mengartikan maksudku. Sudah kubilang bahwa yang kubicarakan sejak tadi adalah gadis muda itu. Aku tak membicarakan pekerjaannya. Aku tak mempermasalahkan profesi seks-nya. Aku tak membicarakan masalah moralnya. Tapi yang kumaksud dengan ‘hidup yang lebih baik’ adalah mengenai masa depannya. Apa kalian juga sempat memikirkan mengenai masa depannya?” seru Sarah sambil melirik pada lelaki ketiga. “Apa kau juga sempat berbicara tentang masa depan dengannya?” serunya lagi sambil melirik pada lelaki kedua.
Ketiga lelaki itu terdiam. Pancaran muka mereka memperlihatkan semacam antusiasme untuk mendengarkan perkataan Sarah lebih lanjut.
“Di mana masa depan Maria sekarang? Apa di antara kalian ada yang pernah melihatnya? Menyentuhnya? Atau memeluknya seperti yang kalian lakukan pada tubuhnya? Dari semua yang kalian berikan padanya dan semua yang ia terima dari kalian selama ini, apakah salah satunya adalah masa depannya sendiri?”
“Apa maksudnya? Masa depan Maria?” tanya lelaki ketiga.
“Ya, itu dia! Masa depan Maria. Kalian memberikan segalanya yang seorang gadis muda dan lugu impi-impikan dalam hidupnya. Kalian memberinya surga dan segala macamnya. Tapi apa yang kalian berikan untuk masa depannya? Dia bekerja di sini, lalu meraih segalanya dengan cepat lewat kecantikannya dan usianya yang masih muda. Tidak sulit baginya untuk meraih popularitas bahkan mendapatkan simpati dari kalian. Hanya saja ia terlalu lugu untuk dapat menyadari bahwa semua itu justru menggerogoti hidupnya sendiri. Cinta, kasih sayang, perhatian yang ia dapat hanyalah ilusi karena semuanya lahir dari sesuatu yang sifatnya sementara. Karena pada dasarnya ia hanyalah objek dari pelampiasan akan ketidakpuasan yang kalian rasakan dari hidup kalian. Semua rasa itu, semua yang membuatnya bahagia, semua yang membuat hidupnya lebih pantas, hanya datang untuk semalam, lalu ketika kalian merasa telah terobati oleh kehadiran Maria, lalu kalian pergi dan begitu pun dengan cinta, kasih sayang, perhatian yang kalian beri. Yang tersisa hanya perasaan semu yang aneh yang menghantui Maria seperti candu.”
Sarah berhenti sejenak untuk mengambil napasnya. Lalu kembali melanjutkan.
“Ia seperti orang yang kecanduan. Ia merindukan kalian untuk merasakan lagi perasaan-perasaan menyenangkan yang ia dapat. Sementara kalian menempatkannya seperti semacam pil atau tablet yang kalian minum saat merasa sakit. Mungkin memang benar kau menyayanginya, mungkin juga benar kau mencintainya, tapi rasa itu hanya bertahan dalam waktu sekejap. Karena kalian semua hanya dapat membuktikan semua perasaan itu untuk waktu semalam, tidak lebih lama dari itu, tanpa kedalaman atau ikatan emosi yang kuat, sedangkan Maria menyangka telah mendapatkan apa yang ia mau. Kalian telah membiarkan Maria menukar masa depannya dengan kematian. Kematian yang menyedihkan karena AIDS! Kalian paham dengan maksudku?”
Suasana menjadi hening. Ketiga lelaki masih menatap Sarah, berharap dapat mendengar lanjutan ceramahnya, tapi Sarah telah menutup pembicaraannya dengan pertanyaan. Dengan pandangan yang tak beranjak, lelaki kedua menjawab pertanyaan Sarah dengan perasaan yang membelalak dan nada polos, “Jadi, kau menuduh kamilah yang menularkan AIDS padanya?”
“Tidak.” Sarah menajawab cepat. “Tapi kalianlah yang membiarkannya mati karena AIDS. Ia memang telah hidup dengan pantas, tapi tidak hidup dengan lebih baik!”
Ketiganya diam. Lelaki ketiga menghabiskan minumnya dalam sekali teguk, lalu menoleh ke jam tangannya dan merogoh uang dari dompetnya. Ia menaruh sejumlah uang di atas meja. “Simpan kembaliannya,” ia berkata pada Sarah, lalu beranjak dari kursinya dan meninggalkan kedai seperti orang yang sedang dikejar waktu dengan diikuti oleh para gadis di belakangnya.
Lelaki kedua mematikan rokoknya di atas asbak. Ia berdiri dari kursinya lalu menatap Sarah dengan tatapan seorang anak yang baru menerima hukuman dari ibunya. “Kau tahu, aku selalu merasa bahwa aku mencintai Maria.”
“Kau mencintai Maria. Tapi bukan gadis muda yang ada di balik tubuhnya. Gadis polos yang berharap memiliki cukup kekuatan untuk melepaskan Maria dari tubuhnya.”
Lelaki kedua diam. Ia mengambil sejumlah uang dan meletakkannya di atas meja. Ia menyalakan rokoknya lagi. Sebelum berlalu, ia kembali menatap Sarah dan berkata, “Aku rasa iya.” Dan ia melangkah pergi keluar kedai.
Lelaki pertama masih duduk di tempatnya. Ia memegang gelasnya dan menggoyang-goyangkannya pelan. Dalam hatinya ia bicara. ‘jadi, benarkah selama ini Maria hanyalah sebuah boneka? Yang kumainkan di saat-saat aku merasa sedih? Yang kumainkan untuk mengganti rasa ketidakpuasanku? Apakah ketika aku menatap kedua matanya, aku telah benar-benar menatap Maria? Apakah itu tubuh Maria yang kusentuh? Lalu miliki siapa hidupnya Maria? Apa sejak awal ia memiliki masa depannya sendiri?’
“Menurutmu apa sejak awal…Maria memiliki masa depannya sendiri?” lelaki pertama bicara untuk pertama kalinya.
“Ya. Kupikir begitu,” ujar Sarah, “tapi, ia lebih memilih untuk melepaskannya pergi.”
Lelaki pertama mengangguk seperti seorang murid yang mendengar gurunya. Ia lalu pergi dengan menyerahkan uang pas di atas meja dan berpikir untuk tak kembali lagi ke kedai minum itu.
Sementara Sarah, sendirian duduk di atas kursinya, menyaksikan kursi-kursi dan meja-meja kosong dan kesunyian yang mengelilinginya. Ia hanya duduk dengan tatapan hampa dan di dalam kepalanya, ia kembali membayangkan Maria.
***
Kurang lebih setahun lalu, Sarah duduk di kursinya menyaksikan orang-orang yang sedang memenuhi kedainya. Mereka tampak gembira dan begitu hilang kendali sambil tertawa keras, bernyanyi, berjoget, mabuk, dan berbicara tak karuan. Sarah berpikir, bahwa ia merasa muak dengan semua kegilaan ini. Setiap malam ia harus membuatkan minuman untuk para manusia tak berguna yang bertingkah seperti babi. Belum lagi dengan para lelaki hidung belang yang gemar memegangi payudara dan bokong para gadis bayaran layaknya balon di depan matanya. Ia merasa bahwa kariernya sebagai pembuat minuman di kedai ini harus segera diakhiri.
Ia memiliki sebuah rencana. Sebuah rencana untuk pergi menyeberangi pulau dan bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran di mana ia tak harus bertemu dengan pelacur, germo, penari telanjang, para mata keranjang dan semacamnya. Ia telah menyiapkan segalanya, uang tabungannya dan keteguhan hatinya. Di dalam angan-anganya, ia ingin sekali suatu saat bisa membuka sebuah restoran atau kafe di kota besar. Itulah impiannya. Masa depannya. Yang menunggu untuk diwujudkan.
Namun suatu malam, takdir menghalangi niatnya. Ia melihat seorang gadis muda yang masuk ke dalam kedainya bersama dengan seorang pria yang memeluknya. Gadis itu tampak malu-malu dan sedikit canggung sehingga setiap saat ia berusaha untuk memasang senyumnya semanis mungkin. Sarah tak bergeming dari tempatnya. Lalu gadis itu mendatanginya bersama pria itu dan duduk di depannya. Sarah tak mendengar apa yang dikatakan pria itu padanya karena ia terus menatap sang gadis dengan sebuah kekaguman. Gadis itupun membalas tatapannya dengan tersenyum. Dan tanpa disadari, alam bawah sadarnya bertanya, ‘apa yang dilakukan oleh gadis secantik itu di bagian paling buruk dari kota ini?’
Keberadaan gadis itu menunda niatnya untuk pergi. Ia merasakan sesuatu ketika tiap malam, gadis itu datang ke kedai bersama pria lain sementara ia hanya diam menatapnya. Ia merasakan semakin hari gadis itu menjadi semakin cantik dan memesona kedua matanya. Ia tak dapat mengartikan perasaan aneh yang tumbuh dirinya.
Hingga suatu saat ia mendapati gadis itu duduk sendiri di depannya. Ia berkenalan. Berbincang dengan akrab yang diselingi tawa dan senyum. Sarah tak berhenti menatap matanya. Mendengarkan suaranya yang kecil dan renyah. Dan berbincang dengan begitu akrabnya.
Lalu ia membeberkan rencananya. Mengutarakan niat dan cita-citanya untuk pergi dari tempat ini dan membangun impian di tempat lain. Ia berbicara dengan serius sementara gadis itu diam menyimak tiap kata yang keluar dari mulutnya. Ia melihat pancaran ketertarikan dari kedua bola mata sang gadis yang bulat akan keinginannya untuk merantau. Dan di akhir ceritanya, dengan penuh harap ia mengajak gadis itu untuk ikut bersamanya meninggalkan tempat kotor ini. Untuk membangun sebuah masa depan yang cerah bersama-sama.
Awalnya gadis itu hanya diam. Beberapa saat kemudian, ia menjawab dalam nada suara yang menggeser kepolosannya dalam sekejap, “Maaf Sarah, sepertinya tidak. Karena di sini aku telah mendapatkan segalanya yang aku mau.” Ia termenung di bawah penolakan itu sementara sang gadis pergi meninggalkannya.
Sejak saat itu, tiap kali ia melihat gadis itu di kedainya, hatinya selalu bertanya, ‘mengapa kau menolakku? Padahal kau bisa mendapatkan hidup yang lebih baik denganku.’
Sejak saat itu, ia mengurungkan niatnya untuk pergi dan menyaksikan dari kursinya, gadis polos itu perlahan berubah menjadi seorang Maria.
***
No comments:
Post a Comment