Yang pertama datang di kedai minuman itu adalah seorang lelaki paruh baya dengan kantung mata dan raut wajah yang membuatnya tampak seperti pemurung. Ia datang dengan kemeja hitamnya yang dipadu-padankan dengan celana panjang, sepatu, dan jam tangan yang juga hitam. Kumisnya lebat dengan beberapa rambut yang masuk ke lubang hidungnya sementara rambut di kepalanya mulai menipis. Dia adalah seorang dosen. Di tengah malam ini ia tak begitu pandai menyembunyikan kesendiriannya. Ia duduk dengan postur bungkuk menghadap ke arah bar. Dan dengan ketenangan yang dibuat-buat sambil menggulung lengan panjang kemejanya ia berkata pada seorang pelayan wanita di depannya, “Berikan aku segelas minuman. Yang biasa.”
Bukan tanpa alasan mengapa ia mengenakan pakaian serba hitam karena saat ini ia sedang dalam kondisi berkabung. Adalah Maria, seorang wanita muda, yang mungkin lebih pantas menjadi anaknya atau muridnya, yang telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkannya untuk beristirahat dalam damai. Betapa berat hatinya untuk menerima kenyataan ini, tapi Maria telah benar-benar tiada dan hanya bisa ditemui di dalam pikirannya sekarang. Hanya tinggal kenangan yang dapat menghubungkan dirinya dengan sosok Maria yang muda dan cantik, matanya yang begitu menyegarkan, kulit putihnya yang mulus, rambut hitam legamnya, aroma parfum yang menggetarkan kejantanannya, bibir merah tipisnya dan suara yang dihasilkan saat mengecupnya, serta tubuh indah yang membuat jiwanya seperti kembali dari nol begitu selesai menikmatinya. Semua memori itu berdesakan di dalam kepalanya dan memaksanya untuk memahami arti dari sebuah kehilangan yang nyata. Takdir, menurutnya, telah membawa Maria pergi terlalu cepat dari matanya.
Bukan tanpa alasan mengapa ia mengenakan pakaian serba hitam karena saat ini ia sedang dalam kondisi berkabung. Adalah Maria, seorang wanita muda, yang mungkin lebih pantas menjadi anaknya atau muridnya, yang telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkannya untuk beristirahat dalam damai. Betapa berat hatinya untuk menerima kenyataan ini, tapi Maria telah benar-benar tiada dan hanya bisa ditemui di dalam pikirannya sekarang. Hanya tinggal kenangan yang dapat menghubungkan dirinya dengan sosok Maria yang muda dan cantik, matanya yang begitu menyegarkan, kulit putihnya yang mulus, rambut hitam legamnya, aroma parfum yang menggetarkan kejantanannya, bibir merah tipisnya dan suara yang dihasilkan saat mengecupnya, serta tubuh indah yang membuat jiwanya seperti kembali dari nol begitu selesai menikmatinya. Semua memori itu berdesakan di dalam kepalanya dan memaksanya untuk memahami arti dari sebuah kehilangan yang nyata. Takdir, menurutnya, telah membawa Maria pergi terlalu cepat dari matanya.